Pemimpin Startup: Pelayan, Pencuci Piring & Pemadam Kebakaran

Suatu hari Saya pernah ditanya oleh calon istri saya (waktu itu), mengapa saya menulis job desc saya adalah: “beres-beres, bersih-bersih, bantu-bantu”. Padahal saya kan owner?

Malu-maluin? Tunggu dulu.

Memimpin sebuah perusahaan startup berbeda jauh dengan memimpin perusahaan besar yang sudah mapan. Walaupun startup itu sebuah PT. Di perusahaan startup seperti kami, belum ada orang atau karyawan yang memiliki pengalaman kerja di atas 5 tahun, kecuali saya sendiri, ownernya sendiri. Rata-rata mereka baru bekerja 2-3 tahun. Waktu yang masih terlalu sedikit untuk bisa dibilang berpengalaman.

Beberapa karyawan memang sudah berpengalaman di perusahaan lain selama 2-3 tahun, bahkan ada yang sudah puluhan tahun. Namun, pengalaman di tempat yang lama ternyata tidak efektif untuk diterapkan di perusahaan kami. Ada yang sudah ketinggalan jauh, ada yang kulturnya berbeda jauh sekali. Jadi mereka sebetulnya mulai dari nol.

Dengan pengalaman yang minim seperti itu, praktis pekerjaan yang dilakukan masih jauh dari efektif, masih banyak kemampuan yang belum dikuasai supaya kualitas kerjanya baik. Sehingga masih banyak kesalahan-kesalahan yang terjadi karena ketidaktahuan.

Oleh sebab itu saya sering terjun langsung, baik bekerja bersama mereka atau mengerjakan sendiri, untuk membantu proses problem solving. Mau tidak mau harus begitu sebab untuk menguasai kemampuan yang dibutuhkan, perlu training dan butuh waktu. Untuk bidang-bidang tertentu seperti Developer, IT Support perlu rekrut lagi, juga butuh waktu.

Di sini lah saya berperan sebagai pelayan atau helper, yang tugasnya bantu-bantu. Selain itu sebagai “pencuci piring” yang tugasnya membereskan pekerjaan yang belum tuntas. Juga sebagai “pemadam kebakaran” yang tugasnya mengatasi masalah yang terlanjur muncul. Saya tahu pekerjaan tersebut sifatnya mendesak namun tidak bernilai tambah.

Terus terang, banyak sekali waktu saya habis untuk pekerjaan tersebut sehingga waktu yang tersisa sebagai pemimpin menjadi sedikit sekali, tinggal 10% saja. Untungnya masih bisa dimanfaatkan untuk mengerjakan hal-hal yang lebih penting seperti: memikirkan strategi jangka panjang, evaluasi, membaca buku, ikut training, bergaul, dan lain-lain.

Di sini saya ambil banyak pelajaran:

  1. Pengalaman kerja orang tidak boleh diukur dari lama bekerja, tapi dari seberapa efektifnya mereka dalam melakukan pekerjaan tersebut.
  2. Sebagai pemimpin, kita harus pandai-pandai mengemat waktu dan energi supaya tidak habis untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tidak bernilai tambah.
  3. Manfaatkan waktu yang tinggal sedikit untuk terus tumbuh mengembangkan diri dengan membaca, belajar, ikut pelatihan, dan lain-lain.
  4. Selalu upgrade kapasitas tim dengan memberikan pelatihan, memberikan pendidikan, dan kesempatan untuk melakukan pekerjaan dengan tanggung jawab yang lebih.

Tanpa itu semua, kita akan terjebak seolah-olah menjadi Superman yang bisa segalanya. Dikeliling karyawan yang banyak, tapi tidak bisa diandalkan. Kita yang menggaji mereka, tapi kita yang capek sendiri. Betul?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.