Menolak Jadi Hamba Uang

Sebagai pengusaha, sering kita jumpai situasi-situasi yang memaksa kita melakukan korupsi, mendukung korupsi, bahkan terlibat korupsi. Setidaknya dalam bentuk suap-menyuap, memanipulasi nilai penawaran dan lain sebagainya. Meskipun kita tidak ada niat, tidak ada maksud, tapi dijebak masuk ke dalamnya.

Markup/Manipulasi Harga Software

Di tahun 2009, saya dapat pelanggan baru dari Denpasar. Mereka membeli lisensi Voucha 3 sebesar Rp 30 juta. Selain membeli lisensi software mereka juga membeli satu unit server Dell T110 sekitar belasan juta rupiah, saya sudah lupa harga persisnya.

Namun setelah transaksi selesai, contact person mereka meminta supaya nilai invoicenya dimarkup dengan nilai markupnya hampir 100% nilai sebenarnya. Jawaban saya tidak bisa. Saya tetap buatkan invoicenya sesuai nilai transaksinya.

Saya tanya, kenapa harus dimarkup? Ternyata contact person yang melakukan pemesanan ini bukan pemilik usahanya, dia hanya karyawan yang ditugasi owner perusahaan tersebut untuk setup server pulsa di sana. Kebetulan dia juga kawan dekat dengan ownernya tersebut.

Menurut pengakuannya, dia tidak dibayar layak oleh bosnya sehingga cari tambahan dari pembelian seperti ini. Alasan seperti itu saya tetap tidak bisa menerima. Akar masalah dari korupsi markup ini adalah ketakutan dan keserakahan, bukan kekurangan. Saya bukan orang bodoh.

Setan gundul, kawan sendiri dia korupsi!

Dia tetap meminta markup ini berulang kali, padahal saya sudah tolak. Saya jelaskan, bahwa apa yang dilakukannya itu adalah bom waktu. Pada waktunya nanti akan meledak dan menghancurkan saya dan dia sendiri.

Tanpa perlu dijelaskan seperti itupun harusnya sebagai muslim, dia tahu transaksi tersebut haram sebab tidak mengandung kejujuran. Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan mereka selanjutnya, yang penting saya kirim invoice tercetak sesuai nilainya.

Beberapa bulan kemudian, si owner perusahaannya kontak saya dari Denpasar dan memberitahukan dia sudah memecat kawannya tersebut karena telah berbohong mengenai nilai transaksi pembelian software dan hardwarenya. Saya jelaskan, saya sudah diajak kongkalikong dan tegas menolak. Jadi nilai transaksinya sesuai dengan yang kami cetak di invoice dan kami menolak melakukan markup.

Ownernya berkali-kali mengucapkan terima kasih. Mereka bertahan sekitar setahun kemudian sebelum akhirnya bangkrut. Saya dengar dari karyawannya yang bekerja sebagai operator dan rekan-rekannya di sana, banyak kebocoran yang dilakukan orang-orangnya. Padahal modalnya berasal dari pinjaman bank.

Betapa malangnya. Itu baru satu contoh saja. Ada beberapa customer saya yang proses pembeliannya tidak beres seperti ini.

Mengapa saya menolak?

Simpel saja, karena saya benci suap-menyuap, markup, dan sebangsanya. Segitu bencinya sampai saya jijik. Saya ada pengalaman khusus soal ini waktu masih kecil yang membentuk pola pikir dan sikap saya hari ini. Ketika lulus SD dan dalam proses masuk SMP, ada beberapa orang tua teman saya menyogok guru-guru SD dan Kepala Sekolah untuk mendongkrak NEM anaknya. Ini dilakukan terang-terangan di atas meja dan disaksikan orang tua murid lainnya termasuk bapak saya.

Waktu itu NEM belum diumumkan dan mereka punya waktu untuk mendongkrak NEM anaknya. Hasilnya, dua orang anak berhasil masuk SMP favorit dengan NEM didongkrak. Sementara saya sendiri “dibuang” ke SMPN 5 Bekasi (sekarang SMPN 7 Bekasi). Tujuannya supaya tidak bocor mulut. Kalau saya dimasukkan satu sekolah dengan mereka yang didongkrak NEM-nya, bisa terbongkar dong.

Orang tua saya protes kepada pihak sekolah, namun justru diintimidasi dengan didatangi guru kelas juga tentara berseragam. Apa maksudnya? Mau menekan keluarga saya rupanya? Untungnya keluarga saya bukan orang yang mudah ditakut-takuti seperti itu.

Namun usaha kami gagal karena waktu juga yang membatasi. Saya harus segera sekolah dan tidak bisa lama-lama larut dalam persoalan itu. Saya lepaskan perkara tersebut sambil menyimpan kemarahan dan kebencian terhadap mereka yang melakukan suap-menyuap. Kebencian ini rupanya tidak pernah padam dan mendarah daging, meracuni pikiran dan membentuk perilaku saya.

Kalau dibilang, saya ada dendam pribadi dengan perkara suap menyuap, Anda tepat! Tidak perlu menjelaskan panjang lebar, tidak perlu mengajari saya ilmu hukum, saya tahu suap menyuap adalah perkara yang sungguh laknat.

Tak perlu diperdebatkan. Baginda Rasulullah sudah jelas-jelas melaknat pelaku suap.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima suap”. (HR. Abu Daud no. 3580, Tirmidzi no. 1337, Ibnu Majah no. 2313)

Godaan

Tapi yang namanya godaan selalu datang. Ketika kita sedang kesulitan, butuh uang cepat, terdesak harus membayar hutang dan cicilan, kok setan ini tahu dan memberikan penawaran yang menggiurkan. Dengan syarat, harganya harus dimarkup.

Saya sendiri bukan orang yang baik-baik juga kok. Justru dosa saya sudah banyak. Ya justru itu, tolonglah jangan ditambah lagi.

Saya bersyukur, sampai hari ini saya bisa menolak tawaran tersebut. Walaupun resikonya saya ngga dapat order. TIdak masalah, yang penting berkah dulu. Setidaknya saya masih tidak tega kalau istri, ibu dan keluarga saya makan uang hasil transaksi markup.

Saya bersyukur, keluarga saya ngga mata duitan. Masih bisa membedakan mana yang halal dan mana yang haram. Mana yang benar, mana yang salah. Dan ketika kita lemah, mereka yang menguatkan kembali. Bukan menambah godaan.

Memang berat untuk bersetia pada prinsip, tapi selalu layak diperjuangkan. Setidaknya saya sudah menolak tunduk kepada suap-menyuap.

Oleh karena itu, Mari kita Menolak Tunduk jadi Hamba Uang!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.