Monthly Archives: October 2016

Sang Arsitek

Lini masa media sosial menjelang Pilkada DKI ini mulai membosankan. Sebab ada pola yang berulang. Penuh tipu daya.

Dari pada terjebak dengan dukung-mendukung, saya lebih suka mengamati dan mempelajari bagaimana dunia ini diatur, digerakkan dan bekerja. Dari mana asal muasal semua problem ekonomi, sosial dan politik. Bagaimana kita didoktrin di sekolah & universitas. Bagaimana media massa & media sosial membentuk alam bawah sadar. Mencocokkan beberapa kejadian dengan petunjuk-petunjuk yang tercecer.

Dan siapapun arsitek di balik semua ini, saya berharap bisa melihatnya dengan mata kepala sendiri. Mahluk seperti apa dia ini?

Tentang Platform

Saya sering bertanya-tanya,

Apa yang membedakan antara orang berilmu dengan orang dungu yang ngaku-ngaku berilmu?

Apa yang membedakan antara keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah, dengan keluarga yang berantakan?

Apa yang membedakan antara pebisnis yang sukses, dengan pebisnis wannabe yang ngaku-ngaku sukses?

Apa yang membedakan antara jenderal ahli strategi perang, dengan tentara yang jadi centeng di perkebunan?

Apa yang membedakan antara penguasa yang sejati, dengan politisi yang sok berkuasa?

Apa yang membedakan antara negarawan besar, dengan pejabat negara yang sok negarawan?

Kalau kita pelajari biografinya, atau langsung belajar dari orangnya, maka akan ditemukan banyak faktor pembedanya. Tapi ada satu hal yang sama yang menjadi pembeda paling mendasar, yaitu falsafah.

platform

Dalam belajar menuntut ilmu, orang berilmu punya falsafah dalam belajar.

Dalam berkeluarga, suami istri dalam keluarga sakinah punya falsafah dalam berkeluarga.

Dalam berbisnis, pengusaha besar punya falsafah dalam berusaha. Dalam bekerja, ada pula falsafah dalam bekerja.

Dalam memimpin pasukan bertempur, jenderal besar punya falsafah dalam bertempur. Dalam berkuasa, penguasa sejati pun punya falsafah berkuasa. Dalam bernegara, juga ada falsafah bernegara.

Falsafah ini hasil pemikiran manusia. Falsafah ini berisi pemikiran tentang sesuatu keadaan yang ideal. Keadaan yang ideal ini terinspirasi dari sumber-sumber nilai yang diyakini seperti wahyu (kitabullah), adat, kebiasaan, nasihat, dan kebijaksanaan yang timbul dalam kurun waktu tertentu.

Falsafah hidup orang Jawa, tentu berbeda dengan falsafah hidup orang Batak. Falsafah hidup bangsa Jepang, tentu berbeda dengan falsafah hidup bangsa Korea, walaupun berdekatan.

Oleh karena itu mempertentangkan antara wahyu dengan falsafah adalah perbuatan yang tidak didasari ilmu. Wahyu menuntun akal supaya dapat memformulasikan apa falsafah yang sesuai dengan jaman dan situasi. Menolak wahyu, adalah perbuatan yang takabur dan jauh dari ilmu. Sebab akal pun terbatas. Pemahaman manusia sangat dibatasi oleh persepsinya terhadap segala sesuatu.

Falsafah ini yang saya sebut platform. Sebuah landasan berpikir dan bertindak. Di atas landasan tersebut, barulah kita bisa membangun kerangka atau model. Sebuah bentuk yang mewakili gagasan-gagasan yang dilahirkan dari platform tersebut.

chichen_itza-platform_of_venus

Dalam belajar, ada metode belajar atau kerangka belajar. Dalam bekerja, ada kerangka kerja. Dalam berusaha, ada kerangka usaha yang sekarang disebut business model. Dalam bernegara, ada juga model negaranya. Begitu juga dalam bermasyarakat, berkeluarga, dan lain sebagainya.

Kalau ada siswa yang tidak maju-maju dalam belajar, biasanya dia ngga punya platform belajar yang tepat. Coba kasih tahu landasan berpikirnya dan berikan kerangka belajar yang benar. Insya Allah dia akan maju pesat dalam belajar.

Baca Juga: Kerangka Belajar Pemrograman

Kalau ada keluarga yang berantakan, biasanya suami dan istri tidak punya platform yang tepat dalam berkeluarga. Kalau platformnya tidak jelas, bagaimana dia bisa membina rumah tangga yang rukun?

Kalau ada bisnis yang ngga maju-maju, kemungkinan besar owner tidak punya platform yang jelas. Kalau platformnya tidak jelas, bagaimana dia merancang business model yang tepat? Paling ikut-ikutan saja.

Dan orang ngga punya platform, mudah ditipu.

Betapa pentingnya platform ini bukan? Sayangnya memang tidak banyak orang yang punya platform. Kalau sekedar ngarang sih, ya gampang. Tapi butuh olah pikir, memeras otak, mengerahkan tenaga, meminta petunjuk yang cukup supaya bisa menyusun platform yang rahmatan lil-alamin.

Begitu juga kalau dalam kehidupan bernegara kita ngga punya platform, tentu akan banyak masalah. Sibuk berpolitik, tak pernah benar-benar berkuasa. Sibuk bekerja, tapi tak pernah benar-benar sejahtera. Sibuk bertikai, tak pernah selesai. Sangat berbahaya.

burning-platform

Dan apa jadinya jika kita bekerja di atas sebuah platform yang sedang runtuh atau terbakar? Apakah ada platform yang sedang runtuh di dunia ini?

Ada, kapitalisme dan demokrasi.

Mengapa Agama Dijadikan Alat Kampanye

Sejak saya sekolah, biasanya menjelang PEMILU,  mulai ramai kampanye untuk memilih pemimpin se-akidah dan larangan memilih pemimpin non-muslim. Hanya menjelang PEMILU tok. Di kalangan agama lain pun sama sebetulnya. Kampanye mendukung pemimpin yang satu akidah dan jangan memilih pemimpin yang beda akidah ada di kelompok agama manapun. Hanya saja, tidak dibicarakan secara terbuka atau ramai-ramai.

Begitu juga ketika masuk kuliah. Setiap ada pemilihan ketua himpunan, ketua unit, ketua oskm, apalagi pemilihan Presiden KM-ITB, pasti diwarnai dengan kampanye menggunakan isu agama.

Tentu saya bertanya, mengapa agama dijadikan alat kampanye politik?

Di negara yang platformnya berbasis demokrasi, kekuasaan diperoleh berdasarkan suara terbanyak. Maka semua orang didorong untuk membuat kelompok dan memperbanyak pengikut. Makin banyak anggota, pengikut, followers, voters, dianggap makin berkuasa.

Sehingga kelompok-kelompok dengan identitas suku, budaya, pendidikan, agama juga berlomba-lomba mencari pengikut. Yang dicari adalah pengikut. Bukan kebenaran hakiki. Di sini suku, budaya, kelompok, agama tidak lain adalah partai politik juga.

Bukan hanya pengikut lama atau konstituen, tapi juga pengikut dadakan atau floating mass atau swing voters. Sebab ternyata dari segi jumlah pun, floating mass atau swing voters ini sangat besar.

Kita sudah bertanya, mengapa agama dijadikan alat kampanye. Pernahkah kita teliti, sumber masalahnya adalah demokrasi itu sendiri. Itu karena by nature, di alam demokrasi, pengikut/followers/voters lebih penting dari Tuhan.

Jika sistem politik tidak berdasarkan suara terbanyak, tapi berdasarkan kesesuaian/compliance, ketaatan/kepatuhan dengan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, kemampuan, ilmu, orang tidak perlu berlomba-lomba mencari pengikut. Tidak perlu mengkafir-kafirkan golongan lain. Tidak perlu melabeli kelompok lain itu kafir, bid’ah, sesat dan sebagainya.

Tapi ini demokrasi… satu suara ulama atau wailyullah, sama nilainya dengan saya yang awam dan bodoh ini. Suara profesor, doktor, setara dengan suara saya yang ngawur ini. Betul?