Mengapa Agama Dijadikan Alat Kampanye

Sejak saya sekolah, biasanya menjelang PEMILU,  mulai ramai kampanye untuk memilih pemimpin se-akidah dan larangan memilih pemimpin non-muslim. Hanya menjelang PEMILU tok. Di kalangan agama lain pun sama sebetulnya. Kampanye mendukung pemimpin yang satu akidah dan jangan memilih pemimpin yang beda akidah ada di kelompok agama manapun. Hanya saja, tidak dibicarakan secara terbuka atau ramai-ramai.

Begitu juga ketika masuk kuliah. Setiap ada pemilihan ketua himpunan, ketua unit, ketua oskm, apalagi pemilihan Presiden KM-ITB, pasti diwarnai dengan kampanye menggunakan isu agama.

Tentu saya bertanya, mengapa agama dijadikan alat kampanye politik?

Di negara yang platformnya berbasis demokrasi, kekuasaan diperoleh berdasarkan suara terbanyak. Maka semua orang didorong untuk membuat kelompok dan memperbanyak pengikut. Makin banyak anggota, pengikut, followers, voters, dianggap makin berkuasa.

Sehingga kelompok-kelompok dengan identitas suku, budaya, pendidikan, agama juga berlomba-lomba mencari pengikut. Yang dicari adalah pengikut. Bukan kebenaran hakiki. Di sini suku, budaya, kelompok, agama tidak lain adalah partai politik juga.

Bukan hanya pengikut lama atau konstituen, tapi juga pengikut dadakan atau floating mass atau swing voters. Sebab ternyata dari segi jumlah pun, floating mass atau swing voters ini sangat besar.

Kita sudah bertanya, mengapa agama dijadikan alat kampanye. Pernahkah kita teliti, sumber masalahnya adalah demokrasi itu sendiri. Itu karena by nature, di alam demokrasi, pengikut/followers/voters lebih penting dari Tuhan.

Jika sistem politik tidak berdasarkan suara terbanyak, tapi berdasarkan kesesuaian/compliance, ketaatan/kepatuhan dengan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, kemampuan, ilmu, orang tidak perlu berlomba-lomba mencari pengikut. Tidak perlu mengkafir-kafirkan golongan lain. Tidak perlu melabeli kelompok lain itu kafir, bid’ah, sesat dan sebagainya.

Tapi ini demokrasi… satu suara ulama atau wailyullah, sama nilainya dengan saya yang awam dan bodoh ini. Suara profesor, doktor, setara dengan suara saya yang ngawur ini. Betul?

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.